Minggu, 07 November 2010

Pengaruh Obesitas (Hiperkolesterolemia) terhadap Kejadian Amenorea

Pengaruh Obesitas (Hiperkolesterolemia) terhadap Kejadian Amenorea



Setiap wanita normal memiliki sepasang ovarium, yang tiap bulan menghasilkan sebuah sel telur (ovum), yang siap untuk dibuahi melalui sebuah mekanisme siklus menstruasi. Hanya sebagian kecil populasi oosit pada folikel primordial yang masuk ke dalam fase pertumbuhan dan mengalami pematangan. Pada perkembangan selanjutnya, sebelum mengalami ovulasi, folikel primordial mampu merespon hormon gonadotropin untuk mengadakan proliferasi hingga mencapai sebuah kematangan, yaitu menjadi folikel de graaf. Hanya oosit kompeten yang akan berkembang lebih lanjut dengan memasuki pembelahan miosis sampai terbentuk ovum yang siap untuk diovulasikan. Dengan demikian, proses proliferasi folikel serta pematangan ovum merupakan kunci penting bagi seorang wanita dalam menjalani kehidupan reproduksinya. Kehidupan reproduksi seorang wanita dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang berpotensi menimbulkan gangguan. Salah satu faktor yang berpengaruh ada;ah obesitas, yang identik dengan hiperkolesterolemia. Melalui penjelasan berikut akan diungkapkan pengaruh obesitas terhadap hambatan proliferasi folikel serta pematangan ovum, yang pada akhirnya termanifestasi sebagai gangguan siklus menstruasi berupa amenorea
A. Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan berat badan yang melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat dari akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh. (Dorland, 2006). Batas kegemukan pada umumnya adalah 20% melebihi standar normal. Obesitas (kegemukan) terjadi jika selama periode waktu tertentu, jumlah kalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada jumlah yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh. Kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida pada jaringan adiposa. Penyebab kegemukan sangat bervariasi dan masih belum jelas. Sebagian faktor yang mungkin berperan adalah (1) gangguan emosi yang disertai konsumsi makanan secara berlebihan, (2) pembentukan sel-sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat konsumsi makanan yang berlebihan, (3) gangguan fungsi endokrin tertentu, (4) gangguan pada pusat pengatur kenyang dan selera makan di hipotalamus, (5) kecenderungan herediter, (6) faktor eksternal, seperti kelezatan makanan yang tersedia, serta (7) kurang berolahraga (Sherwood, 2001).
Komposisi tubuh mengacu pada persentase berat tubuh yang terdiri dari jaringan tanpa lemak dan jaringan lemak. Penilaian komposisi tubuh merupakan komponen penting dalam mengevaluasi status kesehatan seseorang. Secara ideal, komposisi lemak pada pria adalah kurang dari 15%, sedangkan pada wanita adalah kurang dari 20% (Sugondo, 2007).
B. Gangguan Menstruasi dan Siklusnya
Untuk memahami gangguan menstruasi dan siklusnya lebih mendalam, fisiologi menstruasi dan siklusnya perlu dimengerti terlebih dahulu. Hal tersebut telah dipelajari dalam skenario pertama. Gangguan menstruasi dan siklusnya khususnya dalam masa reproduksi dapat digolongkan dalam : (1) kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan, yang meliputi hipermenorea atau menoragia dan hipomenorea; (2) kelainan siklus, yang meliputi polimenorea, oligomenorea, dan amenorea; (3) perdarahan di luar siklus menstruasi/metroragia; dan (4) gangguan lain yang berkaitan dengan menstruasi, seperti ketegangan pramenstruasi, mastodinia, rasa nyeri pada ovulasi, dan dismenorea (Prawirohardjo, 2008).
Hipermenorea ialah perdarahan menstruasi yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari). Sebab kelainan ini terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya adanya mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu menstruasi, dan sebagainya. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan hipomenorea. Hipomenorea ialah perdarahan menstruasi yang lebih pendek dan/atau lebih kurang dari biasa. Sebab-sebabnya dapat terletak pada konstitusi penderita, pada uterus, pada gangguan endokrin, dan lain-lain. Adanya hipomenorea tidak mengganggu fertilitas (Prawirohardjo, 2008).
Pada polimenorea siklus menstruasi lebih pendek dari biasa (kurang dari 21 hari). Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak dari menstruasi normal. Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi. Sebab lain ialah kongesti ovarium karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya. Lain halnya dengan oligomenorea, di sini siklus menstruasi lebih panjang (lebih dari 35 hari). Apabila panjangnya siklus lebih dari 3 bulan, hal itu sudah mulai dinamakan amenorea. Perdarahan pada oligomenorea biasanya berkurang. Oligomenorea dan amenorea seringkali mempunyai dasar yang sama, perbedaannya terletak dalam tingkat. Pada kebanyakan kasus oligomenorea kesehatan wanita tidak terganggu, dan fertilitas cukup baik. Siklus menstruasi biasanya juga ovulatoar dengan masa proliferasi lebih panjang dari biasa (Prawirohardjo, 2008).
C. Amenorea
Amenorea adalah keadaan tidak adanya menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Amenorea dapat dibagi menjadi amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer primer adalah apabila seorang wanita berumur 18 tahun ke atas tidak pernah mendapatkan menstruasi, sedangkan pada amenorea sekunder penderita pernah mendapatkan menstruasi, tetapi kemudian tidak mendapatkan lagi. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit diketahui, seperti kelainan kongenital dan kelainan genetik. Adanya amenorea sekunder lebih menunjuk kepada sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita, seperti gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor, dan penyakit infeksi (Prawirohardjo, 2008).
Amenorea primer dan amenorea sekunder masing-masing mempunyai sebab-sebab sendiri. Akan tetapi, banyak sebab ditemukan pada kedua jenis amenorea sehingga sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) gangguan organik pusat akibat tumor, radang, dan destruksi, (2) gangguan kejiwaan, (3) gangguan poros hipotalamus-hipofisis, seperti pada sindrom amenorea-galaktosa, sindrom Stein-Leventhal, dan amenorea hipotalamik, (4) gangguan hipofisis akibat sindrom sheehan, penyakit Simmonds, dan tumor, (5) gangguan gonad, yang terdiri dari kelainan kongenital, menopause prematur, insensitivitas ovarium, penghentian fungsi ovarium karena operasi, radiasi, radang, dan tumor sel granulosa, sel teka, sel hilus, adrenal, arenoblastoma, (6) gangguan pada glandula suprarenalis, (7) gangguan pada glandula tiroidea, (8) gangguan pada pankreas, misal pada pasien diabetes mellitus, (9) gangguan uterus dan vagina, serta (10) penyakit-penyakit umum, seperti gangguan gizi dan obesitas. Melalui klasifikasi di atas, etiologi amenorea primer dan sekunder seringkali saling tumpang tindih. Penyebab yang lebih sering pada amenorea primer adalah kelainan genetik dan kelainan anatomik. Sedangkan pada sebagian besar amenorea sekunder disebabkan oleh proses anovulasi, yang sering termanifestasi sebagai beberapa penyakit, di antaranya sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, PCOS), kegagalan ovarium prematur (premature ovarian failure, POF), dan lain-lain (Heffner, 2006; Prawirohardjo, 2008).

Diskusi dan Pembahasan
Kolesterol merupakan bahan pembentuk hormon steroid. Semua organ penghasil steroid, kecuali plasenta, dapat mensintesis kolesterol dari asetat. Akan tetapi, pada mayoritas keadaan tertentu, sintesis lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harus menggunakan kolesterol yang bersirkulasi. Produksi steroid di dalam ovarium terjadi pada sistem dua sel. Sel teka menghasilkan androgen dan merespon luteinizing hormone (LH) dengan meningkatkan jumlah reseptor LDL (low-density lipoprotein) yang berperan dalam pemasukan kolesterol ke dalam sel. LH juga menstimulasi aktivitas protein khusus (P450scc), yang menyebabkan peningkatan produksi androgen. Ketika androgen berdifusi ke sel granulosa, androgen mengalami metabolisme oleh aromatase menjadi estrogen.
Seseorang dengan obesitas akan identik dengan hiperkolesterolemia yang ditandai dengan tingginya kadar trigliserid dan LDL dalam darah. Padahal, LDL merupakan molekul pembawa kolesterol ke dalam sel teka untuk dijadikan bahan pembuat androgen. Melalui dasar mekanisme tesebut, tingginya kadar LDL dapat berdampak pada tingginya kadar androgen, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kadar estrogen. Selain itu, hiperkolesterolemia juga berakibat pada resistensi reseptor insulin akibat peningkatan glukosa yang diawali dengan hiperaktivitas glukoneogenesis, yang pada akhirnya menimbulkan hiperinsulinemia. Hiperinsulin menyebabkan peningkatan aktivitas androgen melalui mekanisme berikut : (1) Insulin berikatan dengan reseptor IGF-1, yang mempunyai struktur sama dengan reseptor insulin. Ikatan ini bersama LH akan merangsang sel teka untuk memproduksi hormon androgen. (2) Hiperinsulin menekan sintesis sex hormone binding globulin (SHBG) dan IGF binding protein (IGFBP) di hepar sehingga seks steroid dan IGF-I yang bebas (bentuk aktif) meningkat (Samsulhadi, 1999).
Kadar estrogen yang tinggi memberikan umpan balik negatif terhadap hormon FSH (follicle stimulating hormone) melalui sekresi protein inhibin yang menghambat hipofisis anterior untuk menyekresikan FSH. Sedangkan terhadap LH, peninggian kadar estrogen memberikan umpan balik positif sehingga kanaikan kadar LH merangsang sintesis androgen, kenaikan kadar androstenedion, dan diubah oleh jaringan lemak/otot menjadi estrogen di perifer. Peningkatan kadar LH juga dapat disebabkan oleh karena gangguan sistem leptin. Leptin adalah suatu protein yang disekresi oleh adiposit, yang berperan mengatur pemasukan makanan dan memberikan isyarat lapar pada otak. Pada hipotalamus, leptin menekan sintesis dan sekresi neuropeptide Y, di mana neuropeptida Y ini bekerja menghambatgonadotropin releasing hormone (GnRH). Pada seseorang dengan obesitas (sebagaimana dialami pasien dalam skenario), terjadi peningkatan kadar leptin (pada seorang obes terjadi resistensi leptin), sehingga terjadi penurunan sekresi neuropeptide Y, yang berakibat pada peningkatan sekresi GnRH, dan diikuti peningkatan sekresi LH. Melalui sebuah riset, diketahui bahwa leptin juga berpengaruh pada maturasi oosit melalui jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang dapat mengaktivasimaturation-promoting factor (MPF) yang merangsang pematangan ovum yang dihasilkan oleh ovarium (Kakisina, 2008).
Uraian di atas menggambarkan kejadian yang terjadi pada pasien dalam skenario. Pasien dengan obesitas mengeluhkan menstruasinya tidak datang selama 4 bulan, yang masuk dalam klasifikasi amenorea (lebih dari 3 bulan). Patogenesis yang mendasarinya berawal dari kondisi obesitas, yang berlanjut sebagai kondisi hipersekresi estrogen dan hipersekresi LH, serta penghambatan sekresi FSH. Adanya hambatan sekresi pada FSH menyebabkan terganggunya proliferasi folikel sehingga tidak terbentuk folikel yang matang. Meskipun pematangan ovum terjadi (melalui mekanisme yang dijelaskan di atas), ovulasi tetap tidak berlangsung oleh karena imaturitas folikel. Hal inilah yang menjadi dasar mekanisme ketidakhadiran menstruasi (amnorea) pada pasien dalam skenario kasus. Proses anovulasi ini juga sangat terkait dengan sindrom poliovarium kistik. Gangguan estrogen yang selalu tinggi mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang adekuat. Hal tersebut menyebabkan penumpukan folikel kecil (folikel pada stadium anthral dengan penampang + 8 mm) pada tepi dinding ovarium tanpa pernah mengalami ovulasi (Wasita, 2007). Keadaan ini menyebabkan gambaran polikistik pada ovarium sehingga disebut polycystic ovarian syndrome (PCOS).
Gambaran tentang penanganan pasien dalam skenario adalah pemberian preparat FSH maupun hormon pemacu sekresi FSH untuk merangsang pematangan folikel. Selain itu, untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah, perlu diresepkan obat penurun kolesterol, seperti statin dan preparat turunannya. Jika pasien telah mengalami PCOS, maka tindakan bedah merupakan alternatif pilihan, yaitu dengan jalan mengangkat ovarium dengan kemungkinan hamil yang masih ada, mengingat wanita secara normal memiliki sepasang ovarium. Selain itu, terapi non-medikamentosa yang diberikan adalah dengan terapi diet untuk menurunkan obesitas dan hiperkolesterolemia sehingga kausa gangguan lambat laun akan teratasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar