Selasa, 09 November 2010

laporan skenario PBL tentang ganguan HAID




SKENARIO
Ny. Sinta 28 thn, P0A0, dating ke klinik denga keluhan belum mendapat haid tidak teratur, kadang-kadang 2-3 bulan baru mendapat haid. Ny.Sinta telah menikah selama 2 tahun.
KEYWORDS KATA KUNCI
  1. 25 tahun, wanita
  2. P0A0
  3. haid tidak teratur, kadang-kadang 2-3 bulan baru mendapat haid à oligomerrhoe
  4. telah menikah selama 2 tahun
PERTANYAAN
  1. Organ dan hormon apa sajakah yang terlibat dalam sistem reproduksi perempuan?
  2. Bagaimana fisiologi menstruasi?
  3. Apa kondisi yang menyebabkan seorang wanita mengalami gangguan haid?
  4. Apa diagnosis diferensial?
    1. Bagaimana angka kejadiannya?
    2. Bagaimana patogenesisnya?
    3. Bagaimana gambaran klinisnya?
    4. Bagaimana pemeriksaan penunjangnya?
    5. Bagaimana penatalakasanannya?
JAWABAN
  1. Organ-organ yang terlibat yaitu: Hipotalamus, Hipofisis anterior, Ovarium, Endometrium (End target organ)
Hormon-hormon yang terlibat yaitu:
·         FSH     :  Follicle Stimulating Hormon
·         GH       :  Growth Hormon
·         GnRH  :  GonadoTropin Releasing Hormon
·         PRL     :  Prolaktin
·         LH       :  Lutenizing Hormon
  1. Fisiologi haid
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar. Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah ovulasi.
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas. Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9–10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.

  1. Kondisi yang menyebabkan seorang wanita mengalami gangguan haid
·         Gangguan kompartemen I (Uterus)
·         Gangguan kompartemen II (Ovarium)
A. Sindroma ovarium resisten
Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron.
B. Premature ovarian failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara 10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel. Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.
Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.
Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai laginya fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan steril selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium “full thickness” tidak diperlukan pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan “survey” untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.






·         Gangguan kompartemen III (Hipofisis anterior)
A. Gangguan hipofisis anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.
Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis, obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.
B. Amenorea galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea yang diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan adenoma. Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran dari adenoma tidak berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.
Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat molekul antara 19.000 – 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak di dalam bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari kelebihan produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka panjang pada wanita hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara radiologis.
Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional dari hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis) atau grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang dikeluarkan oleh WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan hipotalamus-hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal. Biasanya, beberapa wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk merangsang ovulasi, termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal. Bagaimanapun juga, beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat kerja yang berlainan.
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin. Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress, makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid primer, tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering > 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa. Suatu program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang tetap pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.
Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk menentukan apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormon hipofisis, atau bukan sekresi hormon-hormon hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus dipikirkan tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme sekunder parsial atau komplit yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang hipofisis. Adenoma nonsekresi mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari hasil pengukuran gonadotropin terlihat bahwa 80%-90% adenoma hipofisis nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin. Adenoma-adenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab kekurangan tanda fenotip dari keadaan klinik, yang biasa digunakan untuk membedakan adenoma-adenoma hipofisis sekretoris. Adenoma hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis yang berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan visus, dan hipopituitarisma.
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya adalah makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH, α subunit, subunit β LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit α, dan β LH telah terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang memproduksi gonadotropin.Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan menghasilkan FSH, LH, subunit α, atau subunit β LH dalam respon pada test terhadap thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.
Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah pembedahan, secara primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara radiasi mungkin merupakan suatu hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat ini merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya masih belum terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa dijelaskan.
Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada saat itu. Kadar prolaktin 25–40 ng/ml, cukup ½ tablet bromokriptin/hari. Kadar prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping yang paling sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).
Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi prolaktin yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek akibat insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.
Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui.
Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100–500 μg. setelah pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara 15–25 menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 4–14 kali dari harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak menunjukkan perubahan kadar PRL.
·         Gangguan kompartemen IV (Hipotalamus)
A. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia
Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita dengan obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.
Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis anoreksia nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan 25% atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan (bulimia), overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus.
Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara amenorea dengan berat badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita untuk kembali ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat lambat, terapi hormon perlu dipikirkan. Beberapa penderita memerlukan intervensi dari ahli jiwa.

B. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)
Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea, keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal, yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan kejadian menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.
Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan atlit yang bukan kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara kritis didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak tubuh dan gangguan menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.
Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak diketahui dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan mengindikasikan bahwa sebagian besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan latihan mulai bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan untuk menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya. Pemberian terapi hormonal bisa dipertimbangkan pada wanita dengan hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.

  1. Diagnosis diferensial
·         Sindrom Ovarium Polikistik
Secara alamiah setiap wanita normal akan mengalami siklus haid yang berovulasi dan teratur sejak menarche hingga perimenopause, 15-20% wanita pada rentang usia tersebut akan mengalami siklus yang tidak berovulasi. 75% dari siklus yang tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi dalam bentuk ovarium polikistik (OPK). 80% dari kelainan ovarium polikistik ini secara klinis tampil sebagai penyakit ovarium polikistik (POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, penyakit ovarium polikistik ini akan mempunyai gejala lengkap sebagai sindrom ovarium polikistik (SOPK).
SOPK merupakan kelainan endokrin yang paling sering terjadi pada wanita usia premenopause, yang ditandai dengan hiperandrogenemia dan anovulasi kronik. SOPK dikenal sebagai sindrom heterogen, dimana wanita yang menderita sindrom ini akan memperlihatkan tanda dan gejala peningkatan kadar androgen, menstruasi tidak teratur sampai amenorea.
1.      Angka Kejadian
Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran angka yang bervariasi. Adam dkk, 1986 melaporkan bahwa pada penderita ovarium polikistik yang didiagnosa secara sonografi, didapati 30% menderita amenorrhea, 75% dengan oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya peningkatan konsentrasi kadar LH dan androgen
2.      Pathogenesis
Pathogenesis SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia. Konsentrasi insulin dalam LH di dalam sirkulasi secara umum akan meningkat. Sel teka yang membungkus androgen yang nantinya akan dikonversi menjadi estrogen di dalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsive terhadap stimulasi LH. Sel teka kan menjadi lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel teka yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulose tidak aktif dan aktifitas aomatisasinya menjadi minimal. Akibat ketidakmampuan folikel-flikel tersebut maka terjadi pembentukan kista0kista dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang sehingga akan tebentuk folikel-folikel baru sebelum folikel yang laian mati. Folikel-folikel tsb akan berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel tekayangg hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.

3.      Gambaran klinis
Keadaan hiperandrogen memiliki tanda seperti hirsutisme , timbulnya jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki. Hirsutisme didefinisikan sebagai suatu keadaan munculnya rambut kasar pada wanita seperti pola pertumbuhan pada laku-laki seperti diatas bibir, dagu, dada, abdomen bagian atas maupun punggung. Keadaan anovulasi kronis ditandai adanya gangguan haid seperti amenorrhea, oligomenorrhea, perdarahn uterus disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas.
4.      Diagnosis
Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi criteria klinis, sonografi dan biokimia. Pada wanita yang menderita amenorrhea kemungkinan timbulnya SOPK bila didapati satu atau lebih gambaran berikut:
·         Adanya ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi
·         Hirsutisme
·         Hiperandrogenisme

5.      Pemeriksaan penunjang
·         Pemeriksaan sonografi
Adanya kista folikel ≥ 10 buah dengan diameter 2-8 mm dengan stroma yang tebal (criteria Adam dkk)
·         Pemeriksaan hormonal
Kadar 17-hydroxyprogesteron ≥ 2
Testosterone ≤ 150 mg/dl
DHEAS normal atau sedikit meningkat
Kadar GDP/rasio insulin < 7   (dewasa dgn resitensi insulin)
                                       <4,5 (pasien obes)
6.      Penatalaksanaan
·         Non farmakologi
Penurunan BB akan memberikan pengaruh terhadap kadar hormone dalam sirkulasi
·         Farmakologi
Medroxyprogesteron asetat dosis 150mg IM setiap 6 minggu selama 3 bulan atau 20-40 mg perhari untuk menghilangkan gejala hisrsutisme
Anti androgen : Cyproteron asetat, flutamide, finasteride
GnRH analog
Metformin
Clomiphene sitrat
·         Operatif
Reseksi biji ovarium
Pengeboran ovarium dengan laser secara laparoskopi














DAFTAR PUSTAKA

1.                  Standar pelayanan medik Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Jakarta, 2006
2.                  Budi R. Hadibroto, Sindrom ovarium polikistik, Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 38 No. 4 Desember 2005
3.                  Buku ilmu kandungan, PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar